Wamenag: BPKH Harus Terus Berinovasi Dalam Pengelolaan Dana Haji Untuk Mendukung Penyelenggaraan Haji Yang Berkualitas
Diterbitkan Sabtu, 4, November, 2023 by Korps Nusantara
Makassar — Wakil Menteri Agama (Wamenag) RI Syaiful Rahmat Dasuki menjelaskan bahwa Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) adalah badan hukum public yang bersifat mandiri yang didirikan melalui peraturan presiden Nomor 110 Tahun 2017 tentang Badan Pengelola Keuangan Haji, yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 34 tahun 2014 tentang pengelolaan Keuangan Haji.
Jumlah peminat haji di Indonesia menurutnya sangat besar namun kuota yang diberikan pemerintah Arab Saudi terbatas dan lahirnya BPKH ini menurut Wamenag adalah untuk menjembatani ketimpangan ini semua sehingga bagaimana keuangan haji ini bisa dikelola dengan sebaik-baiknya.
“Keinginan umat Islam Indonesia untuk beribadah itu sangat tinggi, tapi terbatasi oleh kuota haji yang memang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi. Sehingga antara keinginan dengan kuota yang diberikan ini tidak bisa bertemu secara seimbang,” ujar Wamenag saat menyampaikan sambutannya di acara Seminar Nasional di Universitas Hasanuddin Makassar, Jum’at (3/10/2023).
Dengan begitu lanjut Wamenag, Akumulasi jumlah dana yang bertumpuk tersebut memilki potensi untuk ditingkatkan nilai manfaatnya dan dapat digunakan untuk mendukung Penyelenggaraan ibadah haji yang berkualitas. Peningkatan nilai manfaat terhadap dana tersebut dapat dicapai melalui pengelolaan keuangan yang efektif, efiesian, transparan dan akuntable.
“Orang yang nyetor haji hari ini uangnya akan mengendap selama 48 tahun kurang lebih, tentu ini harus ada inovasi dan sebuah terobosan-terobosan dari BPKH untuk lebih mengoptimalkan lagi keuangan haji ini sehingga bisa terserap dengan sebaik-baiknya,” ungkapnya.
Yang berikutnya ujar Wamenag Syaiful, bahwa selain kemampuan secara finansial, ibadah haji juga ibadah membutuhkan kekuatan fisik karena ibadah haji ini adalah ibadah fisik, mulai dari perjalanan yang jauh sekitar 8-9 jam terus harus sekian hari di negeri orang dengan kondisi yang membludak orang sehingga banyak fisik yang terkuras.
“Tentunya salah satu yang menjadi kajian kita kemaren kita bermudzakarah tentang Istitha’ah yaitu bagaimana kemampuan secara fisik juga harus menjadi ukuran utama kedepannya agar jemaah haji kita ini bisa berangkat dengan sehat, selamat dan insyaallah kembali juga dengan sehat dan selamat,” jelasnya.
Banyak faktor yang menyebabkan lonjakan peminat ibadah haji ini, bukan hanya karena semata-mata untuk ibadah saja namun secara sosiologis banyak orang Indonesia sangat menginginkan di akhir hayatnya saat sedang berhaji. Sehingga kemudian melonjak pula jemaah haji dari kalangan lansia.
“Salah satu penguatan-penguatan regulasinya adalah dengan mengeluarkan Istitha’ah masalah kesehatan yang masih menjadi diskusi kita, karena tadi secara sosiologis orang Indonesia sangat menginginkan ibadah haji. Bahkan gak tau, kebetulan saya anak Betawi di Betawi itu sangat bermimpi bisa meninggal dunia di Arab Saudi sangat menginginkan akhir hayatnya ada di tanah suci. Nah ini hampir semua saya rasa jadi banyak juga jamaah haji kita mungkin secara sosiologis masih menganggap itu hal yang mulia dan sebagainya. Sementara secara penyelenggaraan dan secara pengelolaan ini tentu ini bisa jadi merepotkan dan memberatkan,” ungkapnya.
BACA JUGA:
Seminar Nasional BPKH, Wamenag: Ada Kabar Gembira Soal Kuota Haji Indonesia
Dengan demikian menurutnya tata kelola keuangan menjadi tantangan tersendiri dalam serangkaian prinsif dan proses yang
digunakan untuk mengelola dan mengawasi aspek keuangan dalam entitas yang telah ditetapkan dengan tujuan untuk memastikan bahwa keuangan dikelola secara efisien , transparan dan akuntable.
Wamenag juga menjelaskan timbulnya permasalahan yang ada saat ini berdasarkan regulasi yang ada yaitu:
1. Terjadinya miss konsep budgeting karena perencanaan yang dilakukan mengunakan tahun masehi dengan solusi yang telah dirumuskan pengganggaran operasional haji mengunakan kalender hijrah dan dapat diprediksi pada tahun kapan terjadi 2 kali
penyelenggaraan haji dalam 1 tahun misal pada tahun 2027.
2. Benturan / penggunaan dana operasional haji dengan berbasis juknis dalam Kepdirjen dengan aturan Menteri Keuangan (PMK) sehingga dianggap melangar aturan, dengan analisa hukum keuangan haji diatur secara khusus dalam UU 34 tahun 2014, sehingga dalam pengelolaan keuangan haji yang bersifat khusus atau lex spesialis dan tidak dapat disamakan dengan pengelolaan keuangan negara karena terdapat perbedaan sumber keuangannya sehingga tidak dapat mengacu kepada Peraturan Manteri Keuangan melainkan dapat dibuat Peraturan Menteri Agama sebagai dasar regulasi yang kuat dan mengikat dalam penganggaran operasional haji.
“Selain itu undang undang memberikan
mandat kepada Menteri dan BPKH dalam rangka pengelolaan keuangan haji sehingga pola pengelolaan pun diatur secara khusus. UU nomor 8 tahun 2019 juga memandatkan
tanggung jawab penyelenggaraan haji kepada Menteri Agama sehingga dalam konteks ini Menteri Agama memiliki kewenangan mengatur tentang keuangan operasional haji sesuai dengan amanat undang undang,” tandasnya.
Acara Seminar Nasional yang mengangkat tema Berkhidmat untuk Umat: Menuju Pengelolaan Keuangan haji yang Profesional, Transparan, dan Akuntabel ini juga di hadiri oleh Dr. H. Ashabul Kahfi, M.Ag (Ketua Komisi VIII DPR RI), Prof. Dr.. Ir. Jamaludin Jompa M.Sc (Rektor Universitas Hasanuddin), Fadhul Imansyah (Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji), Prof Dr. Aidul Fitriciada Azhari, M.Hum, Dr. Jaja Djaelani (dalam hal ini mewakili Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah), Prof. Aidir Amin daud, SH, MH.
Dan narasumber yang hadir masing-masing ada, Ketua Komisi VIII DPR RI Ashabul Kahfi, Ketua Komisi Yudisial periode 2016-2018 Aidul Fitriciada Azhari, anggota BPKH Amri Yusuf, Guru Besar Fakultas Hukum Unhas Prof Achmad Ruslan dan Prof Aidir Amin Daud. (Waké).